Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan
anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran
menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok.
Anggota yang tahu
menjelaskan
kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4. Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis
tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
Model Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh.
Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk
memperhatikan / menganalisa gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar
tersebut dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi
sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
Model Lesson Study
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembangkan di Jepang yang dalam bahasa
Jepangnya disebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh
Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas
guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka
agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut
melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang
dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana
pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap
praktek mengajar terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut
mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang
telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru
yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka
terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap
refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk
pembelajaran berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya
diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke
(2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan
olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
Permasalah terbesar yang dihadapi para
peserta didik sekarang (siswa) adalah mereka belum bisa menghubungkan antara
apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini
dikarenakan cara mereka memperolah informasi dan motivasi diri belum tersentuh
oleh metode yang betul-betul bisa membantu mereka. Para siswa kesulitan untuk
memahami konsep-konsep akademis (seperti konsep-konsep matematika, fisika, atau
biologi), karena metode mengajar yang selama ini digunakan oleh pendidik (guru)
hanya terbatas pada metode ceramah. Di sini lain tentunya siswa tahu apa yang
mereka pelajari saat ini akan sangat berguna bagi kehidupan mereka di masa
datang, yaitu saat mereka bermasyarakat ataupun saat di tempat kerja kelak.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar-benar bisa memberi jawaban
dari masalah ini. Salah satu metode yang bisa lebih memberdayakan siswa dalah
pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok
dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan
cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta
didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya
disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat
disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan diterapkan
dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa
(peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa
sehingga dapat terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya
dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan
bahwa pikiran secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan
linkungan sekitarnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual kegiatan
pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di
laboratorium, tempat kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya. Mengharuskan
pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar
yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi,
sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki
pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi
sendiri secara aktif pemahamannya.
Dalam linkungan seperti itu, para siswa dapat menemukan hubungan bermakna
antara ide-ide abstrak dengan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata;
konsep diinternalisasi melalui menemukan, memperkuat, serta menghubungkan.
Sebagai contoh, kelas fisika yang mempelajari tentang konduktivitas termal
dapat mengukur bagaimana kualitas dan jumlah bahan bangunan mempengaruhi jumlah
energi yang dibutuhkan untuk menjaga gedung saat terkena panas atau terkena
dingin. Atau kelas biologi atau kelas kimia bisa belajar konsep dasar ilmu alam
dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara petani bercocok tanam dan
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga prinsip
ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta,
yaitu:
1) Prinsip Kesaling-bergantungan,
2) Prinsip Diferensiasi, dan
3) Prinsip Pengaturan Diri.
Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam
semesta saling bergantung dan saling berhubungan. Dalam CTL prinsip
kesaling-bergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka
dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan
lingkungan. Prinsip kesaling-bergantungan mengajak siswa untuk saling
bekerjasama, saling mengutarakan pendapat, saling mendengarkan untuk menemukan
persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Prinsipnya adalah
menyatukan pengalaman-pengalaman dari masing-masing individu untuk mencapai
standar akademik yang tinggi.
Prinsip diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam
semesta untuk menghasilkan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip
diferensiasi membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi,
memunculkan cara belajar masing-masing individu, berkembang dengan langkah
mereka sendiri. Disini para siswa diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis
guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa segala sesuatu diatur,
dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri. Prinsip ini mengajak para siswa
untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Mereka menerima tanggung jawab atas
keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan,
mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan
kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan interaksi antar siswa akan diperoleh
pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan
imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan keterbatasan kemampuan.
Kembali ke konsep tentang CTL. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut
membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya adalah guru lebih berurusan
dengan strategi dari pada memberi informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi
siswa. Kegiatan belajar mengajar (KBM) lebih menekankan Student Centered
daripada Teacher Centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa
hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh
siswa. 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses
pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal
siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang
akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan
mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan
pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan
penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan
refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Kurikulum dan pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran kontekstual
harus disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan,
Mengalami, Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.
MENGAITKAN: Belajar dalam konteks pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang
sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui
siswa dengan informasi baru. Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman hidup harus bisa membuat siswa memperhatian
kejadian sehari-hari yang mereka lihat, peristiwa yang terjadi di sekitar, atau
kondisi-kondisi tertentu, lalu mengubungan informasi yang telah mereka peroleh
dengan pelajaran kemudian berusaha untuk menemukan pemecahan masalah terhadap
permasalahan tersebut.
MENGALAMI: Belajar dalam konteks eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan
inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru
dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih
cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk
melakukan bentuk-bentuk penelitian aktif.
MENERAPKAN: Menerapkan konsep-konsep dan
informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa. Siswa menerapkan suatu
konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi
siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.
KERJASAMA: Belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan
siswa lain adalah strategi pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa
yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan.
Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya
membantu siswa mempelajari materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang
karyawan yang dapat berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi
dengan baik, dan yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya
sangat dihargai di tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong
siswa mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
MENTRASFER: Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada, atau mentransfer,
menggunakan dan membangun atas apa yang telah dipelajari siswa. Peran guru
membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan
hapalan.
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki
tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan
(Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community),
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya
(Authentic). Adapaun penjelasannya sebagai berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan
landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar
menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar
dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang
dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
2. Menemukan (Inquiry).
Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari
observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya
merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya
berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3)
membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan
siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan
perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak
lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4. Masyarakat Belajar
(Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran
diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari
‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau.
Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau
lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Pemodelan (Modeling).
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana
guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan
agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan
satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga
mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection).
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari
aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.
Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh
hari itu.
7. Penilaian yang sebenarnya (
Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang
bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran
berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar
bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian
adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian
dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Kelebihan & Kekurangan Contextual Teaching and Learning
Kelebihan
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk
dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan
berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan
konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya
sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme
siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak
lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan
ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran
guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak
melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan
tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan
menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk
belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan
bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa
yang diterapkan semula.
|